Informasi Seputar Dunia Hukum how to address a lawyer, financial freedom reverse mortgage, raymond a mason school of business, dog bite lawyer los angeles, personal injury lawyer salaries,attorney maritime, attorney maritime, birth injury lawyer, personal injury attorney tampa fl, medical malpractice lawyer nj, tax attorney houston, personal injury lawyer jersey city, emc insurance companies, medical malpractice lawyers nj,

Wednesday, March 15, 2017

Politik Dinasti

Istilah politik dinasti menjadi terminologi yang diulang-ulang media ketika kasus korupsi yang menyeret nama Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiah. Padahal dinasti politik sebenarnya sudah berlangsung sejak lama dan keberadaannya terdapat hampir di semua negara.

Politik Dinasti di India

Politik dinasti merupakan praktik dari polititik kekerabatan, dimana seseorang yang memegang kekuasaan “memberi” posisi anggota keluarga dalam struktur kekuasaannya. Hal inilah yang terlihat dalam kasus Ratu Atut Choisiyah dimana sejumlah kerabatnya yang menjabat pada berbagai lini strategis di provinsi Jawa Barat.

Menjamurnya praktek politik kekerabatan menjadi isu kekinian yang dinilai oleh banyak pihak dapat membawa banyak efek negatif. Yang paling utama adalah menghambat semangat transparansi dan akuntabilitas. Politik kekerabatan ini memberi peluang menguatnya nepotisme, patron klien, patrimonalisme, dan sistem rekrutmen yang tidak transparan dengan berbagai turunannya. Bahkan, politik kekerabatan dianggap sebagai bahaya laten terhadap demokrasi.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika persoalan politik dinasti dipandang menggunakan kacamata hak asasi manusia, dimana sebagian pihak lagi memandang pelarangan kepada kerabat petahana dalam mengakses jabatan di pemerintahan telah melanggar hak asasi manusia yang dalam konstitusi telah dijamin oleh uud 1945 seperti hak seseorang untuk turut serta dalam pemerintahan.

Sekilas tentang Politik Dinasti di Indonesia


Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, ‘kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak’. Begitulah adagium Lord Acton yang sangat dikenal di dunia. Untuk menghindari adanya kekuasaan mutlak dalam suatu pemerintahan, Montesquieu kemudian muncul dengan teori pemisahan kekuasaannya. Teori ini disebut sebagai teori Trias Politika yang terdapat dalam bukunya yang berjudul De L’espirit Des Lois atau The Spirit of Laws. Dalam bukunya tersebut, dijelaskan bahwa Trias Politika merupakan teori yang mengindikasikan adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam pemerintahan untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintah sehingga hak masyarakat dapat terjamin.

Asumsi dasar yang menjadi penopang lahirnya ide separation of power adalah adanya pemikiran mengenai bahwa kebebasan akan hilang ketika orang yang sama berada dalam satu badan pemerintahan/kerajaan atau satu orang menjalankan tiga kekuasaan dan pemikiran bahwa pelaksanaan lembaga eksekutif dan legislatif yang sama pada satu orang atau satu badan akan mengurangi kebebasan. Oleh karenanya, lahirlah pemikiran mengenai Trias Politika yang berimplikasi pada:

- Terjaminnya kebebasan politik bagi rakyat,
- Metode terbaik menghindari penyimpangan otoritas

Dalam realita pemerintahan modern sekarang ini, hal yang menjadi isu hangat yang berkaitan dengan kekuasaan yaitu politik dinasti. politik Dinasti sendiri banyak diartikan sebagi serangkaian strategi politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan/ memonopoli kekuasan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara membuka kerang kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.

Berargumen tentang politik dinasti pada dasarnya memang akan sangat bergantung pada pendasaran dan filsafat politik apa yang seseorang anut. Bagi mereka yang berpandangan ekstrem liberal yang menganggap bahwa inti dari politik adalah hak -hak individual, politik dinasti diperbolehkan, bahkan mesti dibela. Ini dipandang sebagai bagian dari hak individu. Namun, bagi mereka yang berpandangan sedikit republikan, politik dinasti secara prinsip tidak bisa diterima. Pertama, kata rakyat, demokrasi, dan kata politik sebagaimana ditulis konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama, yakni kemaslahatan umum atau kepentingan orang banyak atau publik. Artinya, politik dalam paham ketatanegaraan kita secara prinsip harus bersumber dan sekaligus diarahkan ke tujuan kemaslahatan orang banyak. Politik dinasti berlawanan dengan paham di atas karena di dalamnya yang menjadi dasar sekaligus tujuan adalah kepentingan pribadi.

Di Indonesia, berlaku ketentuan larangan pencalonan kepala daerah yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana (kepala daerah incumbent) dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hal itu diatur secara spesifik dalam Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya dalam UU No. 8 Tahun 2015 Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Pasal 7 menyebutkan “Warga Negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : .... r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”

Penjelasan Pasal 7 huruf r menyebutkan “yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. .

Sebenarnya, Larangan pencalonan bagi orang yang memiliki hubungan darah/perkawinan/kelahiran dengan Petahana merupakan sebuah tindakan yang tidak adil dan melanggar prinsip fairness karena telah membelenggu hak asasi seseorang yang sangat mendasar dan alamiah pembatasan pencalonan atas dasar faktor kelahiran/darah/perkawinan secara nyata telah melanggar prinsip civil liberties yang dilindungi hukum internasional. Deklarasi universal tentang ham dari pbb 1984, menyebutkan bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak sipil atau civil liberties, yaitu hak-hak untuk menyelurkan secara positif hak-hak pribadi dalam bentuk aktivitas dan partisipasi seseorang dalam kehidupan bersama, seperti hak untuk menyatakan pikiran secara lisan maupun tulisan, hak untuk berdiskusi dengan orang lain, hak untuk berkumpul dan beroganisasi, dan semacamnya. Kemudian manusia juga memiliki hak-hak sosial atau social liberties, yaitu hak seseorang untuk hidup dan bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki tanpa hambatan apapun.

Hak asasi ini hanya bisa dibatasi oleh Undang-undan dengan dasar untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif.

Pendapat Saya Tentang Politik Dinasti


Larangan pencalonan bagi orang yang memiliki hubungan darah/perkawinan/kelahiran dengan Petahana dalam rangka mengeleminasi politik dinasti bertentangan dengan hak asasi manusia yang telah dijamin oleh uud 1945 seperti hak seseorang untuk turut serta dalam pemerintahan. Pelarangan ini juga bertentangan dengan prinsip fairness, prinsip civil libertie, serta prinsip social libertie yang diakui oleh hukum internasional melaui Deklarasi universal tentang ham dari pbb tahun 1984.

Penulis sendiri beranggapan praktek politik dinasti sah-sah saja dilakukan, asalkan dapat pastikan bahwa dibalik pencalonan atau pengisian jabatan di pemerintahan dilandasi sikap profesional dan integritas personal yang tinggi, melalui prinsip the right man in the right place. Jika kemudian timbul dampak negatif, mengatasinya mudah saja sebenarnya. Karena setiap 5 tahun ada jadwal resmi untuk mengganti pejabat negara. Mau mengganti atau mempertahankan, pilihannya ada ditangan rakyat.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Politik Dinasti

0 comments:

Post a Comment